Minggu, 04 Juli 2010

Drawing for The School ( part 12)

by Yulia Rizki R

(NB: maaf sbelumnnya ada kesalahan kata, skali lg, maaaaaff...)
Keke, sedang bersanti di atas bukit, di belakang pasar. rasanya aneh. bisa bersantai di bukit ini. bisa melihat desa tempat tinggal Keke, bisa melihat sekolah yang berada di desa Keke, dan yang paling istimewa, dan yang paling membuatnya bahagia, bukit milik pak Samad. mungkin, pak Samad tidak bisa melihat Keke disini. Keke juga hanya bisa emlihat pak Samad, sangat samar samar. seperti di tutupi kabut tebal, saat kita melihat gunung.
Ranum, yang berada di samping Keke, menawarkan Keke sabuah roti, untuk sarapan. Keke tersenyum malu, sambil melahap roti itu. angin sejuk yang menerpa mereka, sangatlah nyaman. begituuu nyaman. seperti kasur kasur sang Raja. bahkan lebih.
"ngomong ngomong, bagaimana caranya, kau kenal Mikka?" tanya Ranum, yang telah lebih dulu menghabiskan rotinya.
"aku bertemunya, di bukit milik pak Samad." jawab Keke sambil menelan rotinya, yang berada di tenggorokan.
"aku... aku, bersahabat dengan Keke." ucap Ranum, yang sepertinya masih ragu ragu untuk bercerita.
"jika kau tidak ingin cerita, lebih baik tidak,"
"bukan. bukan seperti itu. tapi, mengingat masa masa bermain dengan Mikka dan Bertha, sungguh pedih."
"Bertha? Bertha pernah bertemu Mikka. waktu itu, aku sedang berada di pinggir sungai." jelas Keke, yang sudah menghabiskan rotinya.
"sungai itu, bukti bisu, saat pertama kali, Bertha bertemu Mikka. tepatnya, 4 tahun yang lalu. saat itu, Bertha sedang menangis, setelah ditinggal ibunya. waktu itu, Mikka baru datang dari kota. Mikka menghibur Bertha. setelah itu, Bertha mengenalkan Mikka padaku. pertamanya, aku kurang yakin. ia lebih tua satu tahun, di banding kami. dan juga, Mikka dari kota. dan akhirnya, aku percaya, setelah, Mikka mengajakku main. ia seperti kakak. kakak, yang turun, dari langit. ia baik, cantik, anggun, dan menawan. ia juga sangat pintar..., tapi" kata kata Ranum terputus disitu. Ranum mulai menitikkan air matanya. Ranum tak kuat dengan apa yang harus ia katakan, selanjutnya.
"tapi, Tragedi itu terjadi. saat kami bermain, di bukit pak Samad, sama seperti-mu. kami bertengkar hebat. entah apa yang ada dalam pikiran kami. Bertha yang marah besar, aku yang menangis karena tak kuat, dan Mikka yang tertunduk bersalah. berkali kali, Mikka berkata ' tolong, maafkan aku, tolong!' tapi, kami. tak bisa memaafkannya karena masalah sepele. dan aku berkata dengan kasar, 'lebih baik mati saja!!', saat itu pula, Bertha mendorong Mikka. hingga jatuh Ke jalan. tapi, dijalan itulah, Mikka harus meninggalkan kami. ia tertabrak mobil yang sedang melintas, jalan Desa." Ranum menangis. ia tak bisa melanjutkan ceritanya. Keke mengerti. mungkin, sangat berat bagi Ranum. ditinggalkan, oleh sahabatnya sendiri.
"padahal, padahal hanya bunga, bunga persahabatan, dan tidak sengaja, Mikka mendudukinya, padahal.. jika aku tak berkata seperti itu.. mungkin...." Ranum tak bisa menghentikan tangisnya.
"menembus langit biru," ucap Keke tiba tiba. "itulah harapanku. impianku adalah, bersekolah. seperti layaknya kalian. mendapat sahabat, bermain bersama. aku ingin itu." Keke menggangkat tangannya tinggi tinggi. lalu, mengepalkan tangannya. yang bertanda semangat. Ranum melihat Keke. di mata Ranum, Keke seperti Mikka yang ke-dua. "ayo, menggambar!" ajak Keke sambil tersenyum, memberikan semangat, pada temannya."setelah itu, kita bertemu Presiden!" tekad Keke bulat. seperti bulan. Ranum tertegun kaget. pertama kali ia, bertemu orang seperti Keke. tapi setelah itu, ia tersenyum.
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar